Kereta Rel Listrik
Sesuai
dengan namanya, Kereta Rel Listrik, artinya untuk menggerakkan kereta
ini diperlukan energi listrik sebagai sumber. Sangat mudah mengidentifikasi
KRL, jalur KRL selalu memiliki saluran listrik di atasnya. Tentu saja berbeda dengan
jalur kereta lintas jawa (KA. Argo, KA. Parahyangan, dsb) yang tidak memiliki
saluran listrik diatasnya karena yang beroperasi di situ merupakan kereta rel
diesel.
Setiap hari
penduduk yang tinggal di Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi harus pergi dan pulang
dari tempat tinggalnya menuju tempat aktivitas di Jakarta. Kereta Rel Listrik
(KRL) menjadi moda alternatif yang menjanjikan. Pergerakan para komuter
didominasi oleh kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat. Hanya
sebagian kecil yang memanfaatkan kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek. Minimnya
minat menggunakan KRL antara lain diakibatkan oleh kondisi prasarana dan sarana
kereta api yang tidak menjamin kenyamanan, keamanan, dan keselamatan. Pelayanan
yang buruk muncul dalam berbagai berita di media massa seiring dengan warta
kecelakaan, baik antarkereta api, antara kereta api dan moda transportasi lain,
atau jalur kereta api yang menyebabkan kereta anjlok.
Untuk
mengurai kemacetan jalan raya yang semakin parah, alternatifnya adalah
memaksimalkan moda transportasi KRL Jabodetabek karena daya angkutnya bisa
mencapai ribuan orang. Satu rangkaian yang terdiri dari delapan kereta,
misalnya, mampu membawa 1.500 orang.
Pada 24
November 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan
Presiden Nomor 83 Tahun 2011 tentang Penugasan Kepada PT Kereta Api Indonesia
(Persero) untuk Menyelenggarakan Prasarana dan Sarana Kereta Api Bandar Udara
Soekarno - Hatta dan Jalur Lingkar Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Secara
umum perpres itu memberi PT KAI tugas baru untuk membuat sarana dan prasarana kereta
api yang dapat menghubungkan area Jabodetabek dan Bandara Soekarno-Hatta.
KRL - Kereta Commuter Jabodetabek
Kini, naik
KRL terasa berbeda. Wajah stasiun-stasiun terlihat rapi dengan
peron yang bersih
serta tersedia area parkir mobil dan sepeda motor bagi penumpang. Satu
rangkaian KRL, misalnya di lintasan Bogor, kini terdiri dari 10 kereta.
Sementara di lintasan lain, seperti Serpong-Tanah Abang, masih delapan kereta.
Penumpang
mudah mengetahui waktu keberangkatan kereta dari grafik perjalanan kereta
(gapeka) yang ditempel di stasiun ataupun dapat diunduh dari laman resmi PT
Kereta Commuter Jabodetabek (KCJ). Selain itu, kini kondisi di dalam gerbong
terjaga kerapian dan kebersihannya. Seluruh perubahan itu membuat sebagian
besar responden jajak pendapat (87,1 persen) mengatakan mereka puas menggunakan
KRL.
Menurut
catatan KCJ, anak perusahaan KAI yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
kereta komuter, jumlah penumpang kereta komuter dari
tahun ke tahun
bertambah. Jumlah penumpang tahun 2013 sekitar 600.000 per hari. Tahun
berikutnya mencapai 700.000 penumpang dan pada Juni 2015 sudah mencapai 800.000
orang per hari. Pada hari kerja, jumlah penumpang bisa mencapai 830.000 orang per
hari.
Keunggulan Kereta Commuter Jabodetabek
Lebih dari
separuh responden (59,2 persen) menggunakan KRL beberapa kali dalam sebulan.
Hanya 18,4 persen responden yang menggunakannya setiap
hari. Itulah
sebabnya tiket yang dimiliki lebih dari separuh responden (57,7 persen) adalah
tiket harian berjaminan (THB), sedangkan yang menggunakan kartu multitrip (KTM)
hanya 29,8 persen.
Dengan
tiket KRL itu, mereka pergi ke tempat kerja (34,9 persen), bertandang ke rumah
kerabat (25,7 persen), atau ke kampus (7,4 persen). Dari hasil jajak pendapat
itu juga diketahui lintasan yang paling sering digunakan responden adalah
Lintasan Bogor (50,7 persen), lalu Bekasi (20,2 persen), dan
Maja/Parungpanjang/Serpong
(14,7 persen). Apa pun tujuan responden menggunakan KRL, jenis tiket yang
digunakan, ataupun lintasan yang dipilih, menurut mereka yang paling
menyenangkan adalah waktu perjalanan lebih singkat (49,3 persen), terhindar
dari kemacetan. Selain itu, biaya transportasi juga lebih murah (17,6 persen)
dan nyaman (10,3 persen).
Adapun yang
paling mengesalkan antara lain berjubelnya penumpang sehingga kereta penuh
sesak (51,1 persen) serta jadwal keberangkatan dan kedatangan yang kerap tidak
tepat (26,1 persen) meskipun sudah tercantum dalam gapeka.
Penambahan
jumlah penumpang KRL bisa jadi karena tiketnya yang murah, seperti yang
diutarakan sebagian besar (73,9 persen) responden. Mulai 1 April 2015, PT KCJ
menetapkan untuk 1-25 kilometer pertama dikenai tarif Rp 2.000. Setelah itu
kelipatan 1-10 kilometer berikutnya sebesar Rp 1.000 rupiah.
Perubahan tarif itu
merupakan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 17 Tahun 2015
tentang Angkutan Orang dan Kereta Api. Bandingkan harga tiket KRL itu dengan
ongkos tol. Apabila menggunakan kendaraan pribadi untuk pembayaran tol dari
Serpong menuju Jakarta, misalnya, harus merogoh Rp 16.000. Dengan kereta hanya
seperdelapannya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar