Minggu, 09 Agustus 2015

Revolusi Mental Pendidikan dan Kebudayaan

A. Deterministik dan Militeristik
Masalah kecenderungan merosotnya identitas nasional dalam diri generasi muda disebabkan pelajaran sejarah dibelokkan arahnya, sehingga tidak fokus pada usaha untuk menanamkan identitas nasional. Pada kajian terhadap 12 buku teks pelajaran sejarah SMA yang berlaku dari kurikulum 1975 – 2006 ditemukan bahwa sejak kurikulum tahun 1975 uraian sejarah Indonesia zaman modern bersifat deterministik, yaitu menempatkan struktur kolonial sebagai satu satunya kekuatan penggerak sejarah Indonesia dan aktor-aktor sejarah Indonesia hanya sebagai penerima dampak. Bahkan sejak kurikulum 1994, tidak hanya pemerintah kolonial Belanda yang ditempatkan sebagai kekuatan determinan, tetapi ditambah dengan kebudayaan Barat.
Penjelasan yang bersifat deterministik itu akan memberi pemahaman dan kesadaran dalam diri siswa bahwa kemajuan masyarakat Indonesia sangat tergantung pada asing, terutama Barat. Siswa akan memperoleh pesan bahwa Barat lebih unggul dari pada Indonesia, sehingga layak dan pantas menjajah serta menjadi panutan bagi kemajuan Indonesia di masa sekarang dan masa depan. Secara internal, uraian dalam buku teks juga mengakibatkan siswa tidak memiliki kebanggaan sebagai bagian dari bangsa Indonesia, karena kalah unggul dari pada bangsa-bangsa lain, terutama bangsa Barat. Hal itu bertolak belakang dengan tujuan pelajaran sejarah, yaitu untuk mengembangkan otonomi diri siswa dan bangsa sebagai salah satu bentuk representasi nasionalisme.
Selain bernuansa “cultural colonization”, buku teks yang struktural deterministik juga mendorong terjadinya konflik budaya antar generasi. Di satu pihak, generasi tua yang menghidupi tata nilai kebudayaan Indonesia berkeinginan agar generasi muda mewarisi dan mengembangkannya. Di pihak lain, generasi muda yang sangat sedikit memperoleh informasi akan vitalitas kebudayaan Indonesia meyakini bahwa kebudayaan Indonesia tidak lagi memadai untuk hidup di zaman modern. Sebaliknya generasi muda memperoleh informasi yang sangat kaya akan vitalitas kebudayaan Barat, sehingga mereka menempatkannya sebagai yang paling cocok dengan kehidupan zaman modern.
   Pada uraian tentang revolusi kemerdekaan, semua buku teks pelajaran sejarah menonjolkan perhatian terhadap peristiwa-peristiwa militeristik, seperti perebutan senjata dan perang. Penarasian konflik fisik yang berupa perang selalu disertai dengan munculnya tokoh-tokoh yang digambarkan menjadi pahlawan atau hero, seperti Sudirman dan Suharto. Heroifikasi tokoh militer dilakukan tidak hanya dengan menceritakan kehebatan mereka dalam perang, tetapi juga dengan mendistorsi dan menegasikan berbagai peristiwa historis non fisik, yaitu perjuangan diplomasi. Pendistorsian antara lain dilakukan oleh Notosusanto ketika membahas isi perjanjian Linggajati dengan jalan menyembunyikan pasal terpentingnya, yaitu “Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan RI atas wilayah Jawa, Madura. dan Sumatra”.
Wacana militeristik menjadikan revolusi kemerdekaan digambarkan hanya sebagai usaha mempertahankan kemerdekaan dari ancaman bangsa asing, baik Jepang sebagai penjaga status quo, Sekutu sebagai pemenang perang maupun NICA yang berusaha menjajah kembali Indonesia. Wacana itu akan memberi pemahaman dan kesadaran siswa untuk mengutamakan kekuatan fisik dalam memecahkan masalah dan meminggirkan penggunaan akal sehat.

B. Meluruskan Arah
Secara filosofis, pendidikan menurut Driyarkara adalah untuk memanusiakan manusia muda. Formulasi tujuan filosofis itu dalam pendidikan sejarah adalah menanamkan dan mengembangkan kesadaran sejarah, yaitu kemampuan intelektual dan mental dalam menggunakan dan atau memanfaatkan secara reflektif pengalaman historis untuk memahami dan menyikapi secara kritis berbagai fenomena yang dihadapi pada masa kini. Dengan demikian, pengalaman historis yang terjadi di masa lampau diposisikan sebagai referensi penting untuk menyikapi kehidupan masa kini dan merencanakan masa depan.
Secara kurikuler, tujuan filosofis itu diterjemahkan menjadi tiga, yaitu melahirkan generasi baru yang memiliki karakter atau identitas kultural nasional kuat, memiliki kemampuan untuk menjaga kohesivitas dan progresivitas masyarakat, serta memiliki kemampuan akademik yang tinggi. Pertama, melalui narasi yang dilakukan, pendidikan sejarah harus mampu melahirkan generasi baru yang memahami siapa diri mereka dan kemana hidup harus diarahkan, meyakini berbagai keutamaan yang dijadikan landasan untuk mengarungi dan memaknai kehidupan masa kini dan mendatang. Kedua, eksplanasi sejarah sudah seharusnya mampu menyumbang solusi terhadap problem aktual yang sedang dihadapi, sehingga kerukunan sosial dapat ditegakkan. Selain itu, narasi sejarah juga harus mampu memberikan inspirasi dan peluang bagi generasi muda untuk memajukan masyarakat kontemporer. Ketiga, eksplanasi sejarah juga dituntut untuk dapat memenuhi kriteria-kriteria akademis, yaitu rasional dan didukug bukti empiris, sehingga uraiannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

C. Rekomendasi Revolusi Pendidikan Sejarah
1.        Mengembangkan Sejarah yang Otonom (Autonomous History).
Realitas yang tidak terbantahkan bahwa dunia ini penuh keberagaman. Setiap etnik memiliki identitas kultural yang unik dan berbeda dengan etnik lain. Keunikan konstruk mental itu menjadikan penelitian historis yang dilakukan suatu etnik terhadap sejarah etnik lain akan melahirkan bias, karena terjadi penilaian dari perspektif etnisitas dari sejarawannya. Sejarah Indonesia yang direkonstruksi oleh sejarawan Barat tidak dapat sepenuhnya memahami kebudayaan Indonesia secara keseluruhan dan pandangan dunianya yang terrepresentasi pada fenomena historis. Kajian Indonesia yang dilakukan oleh Barat dicurigai akan tidak jauh berbeda dengan pandangan kaum Orientalis yang menggambarkan Timur sebagai “were not like "us" and didn't appreciate "our" values” (Said, 1977: xvi).
Langkah yang harus segera dilakukan adalah mengganti buku teks pelajaran sejarah dengan pendekatan autonomous history atau yang oleh Sartono disebut sebagai “sejarah dari dalam”. Dari perspektif ini, Indonesia sentris tidak hanya menempatkan orang Indonesia sebagai tokoh, tetapi juga konstruk mental/kultural mereka sebagai latar dari setiap fenomena historis. Dengan demikian, generasi baru akan dapat memahami fenomena historis sebagai perjuangan generasi pendahulu dalam mempertahankan dan mengembangkan berbagai keutamaan hidup yang diyakini dan bukan sekedar sebagai “akibat” dari kebijakan kolonial seperti yang selama ini diceritakan oleh buku teks.

2.        Mengembangkan Sejarah sebagai koneksi linguistik antar generasi
Pendidikan sejarah berbeda dari ilmu sejarah. Orientasi pendidikan sejarah adalah untuk masa kini dan masa depan. Dalam pendidikan sejarah, masa lampau ditempatkan sebagai referensi atau bahan pertimbangan untuk membuat keputusan di masa kini dan memperoleh kehidupan ideal di masa depan. Oleh karena itu, pelajaran sejarah harus mampu menjadi media refleksi bagi generasi muda dalam menjalani kekinian mereka dan menyiapkan berbagai kebaikan untuk generasi masa depan.
Untuk menjadi bahan refleksi, pelajaran sejarah harus merevolusi diri agar mampu mengungkapkan berbagai hal yang sungguh-sungguh dimaksudkan dan diinginkan oleh para pelaku sejarah di masa lampau, meski mungkin mereka tak mengugkapkannya dengan jelas. Dengan demikian terjadi hubungan linguistik (linguistic connection) antara generasi masa lampau dengan generasi sekarang.
Melalui hubungan linguistik tersebut generasi muda menjadi mungkin melakukan dialog reflektif dengan generasi masa lampau dan memahami keinginan dan maksud mereka. Pada tingkat selanjutnya, generasi muda akan dapat menggunakan keinginan dan maksud generasi masa lampau itu untuk diadaptasi dan diterapkan bagi kehidupan sekarang, sehingga antar kedua generasi terdapat kesejajaran atau pararelisme.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar