A.
Deterministik dan Militeristik
Masalah kecenderungan merosotnya
identitas nasional dalam diri generasi muda disebabkan pelajaran sejarah
dibelokkan arahnya, sehingga tidak fokus pada usaha untuk menanamkan identitas
nasional. Pada kajian terhadap 12 buku teks pelajaran sejarah SMA yang berlaku
dari kurikulum 1975 – 2006 ditemukan bahwa sejak kurikulum tahun 1975 uraian
sejarah Indonesia zaman modern bersifat deterministik, yaitu menempatkan
struktur kolonial sebagai satu satunya kekuatan penggerak sejarah Indonesia dan
aktor-aktor sejarah Indonesia hanya sebagai penerima dampak. Bahkan sejak kurikulum
1994, tidak hanya pemerintah kolonial Belanda yang ditempatkan sebagai kekuatan
determinan, tetapi ditambah dengan kebudayaan Barat.
Penjelasan yang bersifat
deterministik itu akan memberi pemahaman dan kesadaran dalam diri siswa bahwa
kemajuan masyarakat Indonesia sangat tergantung pada asing, terutama Barat. Siswa
akan memperoleh pesan bahwa Barat lebih unggul dari pada Indonesia, sehingga
layak dan pantas menjajah serta menjadi panutan bagi kemajuan Indonesia di masa
sekarang dan masa depan. Secara internal, uraian dalam buku teks juga
mengakibatkan siswa tidak memiliki kebanggaan sebagai bagian dari bangsa
Indonesia, karena kalah unggul dari pada bangsa-bangsa lain, terutama bangsa
Barat. Hal itu bertolak belakang dengan tujuan pelajaran sejarah, yaitu untuk
mengembangkan otonomi diri siswa dan bangsa sebagai salah satu bentuk
representasi nasionalisme.
Selain bernuansa “cultural
colonization”, buku teks yang struktural deterministik juga mendorong
terjadinya konflik budaya antar generasi. Di satu pihak, generasi tua yang
menghidupi tata nilai kebudayaan Indonesia berkeinginan agar generasi muda
mewarisi dan mengembangkannya. Di pihak lain, generasi muda yang sangat sedikit
memperoleh informasi akan vitalitas kebudayaan Indonesia meyakini bahwa
kebudayaan Indonesia tidak lagi memadai untuk hidup di zaman modern. Sebaliknya
generasi muda memperoleh informasi yang sangat kaya akan vitalitas kebudayaan Barat,
sehingga mereka menempatkannya sebagai yang paling cocok dengan kehidupan zaman
modern.
Pada
uraian tentang revolusi kemerdekaan, semua buku teks pelajaran sejarah
menonjolkan perhatian terhadap peristiwa-peristiwa militeristik, seperti
perebutan senjata dan perang. Penarasian konflik fisik yang berupa perang
selalu disertai dengan munculnya tokoh-tokoh yang digambarkan menjadi pahlawan
atau hero, seperti Sudirman dan Suharto. Heroifikasi tokoh militer dilakukan
tidak hanya dengan menceritakan kehebatan mereka dalam perang, tetapi juga
dengan mendistorsi dan menegasikan berbagai peristiwa historis non fisik, yaitu perjuangan diplomasi. Pendistorsian antara lain dilakukan oleh
Notosusanto ketika membahas isi perjanjian Linggajati dengan jalan menyembunyikan
pasal terpentingnya, yaitu “Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan secara de
facto pemerintahan RI atas wilayah Jawa, Madura. dan Sumatra”.
Wacana militeristik menjadikan
revolusi kemerdekaan digambarkan hanya sebagai usaha mempertahankan kemerdekaan
dari ancaman bangsa asing, baik Jepang sebagai penjaga status quo, Sekutu
sebagai pemenang perang maupun NICA yang berusaha menjajah kembali Indonesia. Wacana
itu akan memberi pemahaman dan kesadaran siswa untuk mengutamakan kekuatan
fisik dalam memecahkan masalah dan meminggirkan penggunaan akal sehat.
B. Meluruskan Arah
Secara filosofis, pendidikan
menurut Driyarkara adalah untuk memanusiakan manusia muda. Formulasi tujuan
filosofis itu dalam pendidikan sejarah adalah menanamkan dan mengembangkan
kesadaran sejarah, yaitu kemampuan intelektual dan mental dalam menggunakan dan
atau memanfaatkan secara reflektif pengalaman historis untuk memahami dan
menyikapi secara kritis berbagai fenomena yang dihadapi pada masa kini. Dengan
demikian, pengalaman historis yang terjadi di masa lampau diposisikan sebagai
referensi penting untuk menyikapi kehidupan masa kini dan merencanakan masa
depan.
Secara kurikuler, tujuan filosofis
itu diterjemahkan menjadi tiga, yaitu melahirkan generasi baru yang memiliki karakter atau identitas kultural
nasional kuat, memiliki kemampuan untuk menjaga kohesivitas dan progresivitas
masyarakat, serta memiliki kemampuan akademik yang tinggi. Pertama, melalui
narasi yang dilakukan, pendidikan sejarah harus mampu melahirkan generasi baru yang
memahami siapa diri mereka dan kemana hidup harus diarahkan, meyakini berbagai
keutamaan yang dijadikan landasan untuk mengarungi dan memaknai kehidupan masa
kini dan mendatang. Kedua, eksplanasi sejarah sudah
seharusnya mampu menyumbang solusi terhadap problem aktual yang sedang dihadapi, sehingga kerukunan sosial dapat ditegakkan. Selain itu, narasi
sejarah juga harus mampu memberikan inspirasi dan peluang bagi generasi muda untuk
memajukan masyarakat kontemporer.
Ketiga, eksplanasi sejarah juga dituntut untuk dapat memenuhi kriteria-kriteria
akademis, yaitu rasional dan didukug bukti empiris, sehingga uraiannya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
C. Rekomendasi Revolusi Pendidikan Sejarah
1.
Mengembangkan
Sejarah yang Otonom (Autonomous History).
Realitas yang tidak terbantahkan bahwa dunia
ini penuh keberagaman. Setiap etnik memiliki identitas kultural yang unik dan
berbeda dengan etnik lain. Keunikan konstruk mental itu menjadikan penelitian
historis yang dilakukan suatu etnik terhadap sejarah etnik lain akan melahirkan
bias, karena terjadi penilaian dari perspektif etnisitas dari sejarawannya. Sejarah
Indonesia yang direkonstruksi oleh sejarawan Barat tidak dapat sepenuhnya
memahami kebudayaan Indonesia secara keseluruhan dan pandangan dunianya yang
terrepresentasi pada fenomena historis. Kajian Indonesia yang dilakukan oleh
Barat dicurigai akan tidak jauh berbeda dengan pandangan kaum Orientalis yang menggambarkan
Timur sebagai “were not like
"us" and didn't appreciate "our" values” (Said, 1977:
xvi).
Langkah yang harus segera dilakukan adalah
mengganti buku teks pelajaran sejarah dengan pendekatan autonomous history atau
yang oleh Sartono disebut sebagai “sejarah dari dalam”. Dari perspektif ini,
Indonesia sentris tidak hanya menempatkan orang Indonesia sebagai tokoh, tetapi
juga konstruk mental/kultural mereka sebagai latar dari setiap fenomena
historis. Dengan demikian, generasi baru akan dapat memahami fenomena historis
sebagai perjuangan generasi pendahulu dalam mempertahankan dan mengembangkan berbagai
keutamaan hidup yang diyakini dan bukan sekedar sebagai “akibat” dari kebijakan
kolonial seperti yang selama ini diceritakan oleh buku teks.
2.
Mengembangkan
Sejarah sebagai koneksi linguistik antar generasi
Pendidikan sejarah berbeda dari ilmu sejarah.
Orientasi pendidikan sejarah adalah untuk masa kini dan masa depan. Dalam
pendidikan sejarah, masa lampau ditempatkan sebagai referensi atau bahan
pertimbangan untuk membuat keputusan di masa kini dan memperoleh kehidupan
ideal di masa depan. Oleh karena itu, pelajaran sejarah harus mampu menjadi
media refleksi bagi generasi muda dalam menjalani kekinian mereka dan
menyiapkan berbagai kebaikan untuk generasi masa depan.
Untuk menjadi bahan refleksi, pelajaran sejarah
harus merevolusi diri agar mampu mengungkapkan berbagai hal yang
sungguh-sungguh dimaksudkan dan diinginkan oleh para pelaku sejarah di masa
lampau, meski mungkin mereka tak mengugkapkannya dengan jelas. Dengan demikian
terjadi hubungan linguistik (linguistic connection) antara generasi masa lampau
dengan generasi sekarang.
Melalui
hubungan linguistik tersebut generasi muda menjadi mungkin melakukan dialog
reflektif dengan generasi masa lampau dan memahami keinginan dan maksud mereka.
Pada tingkat selanjutnya, generasi muda akan dapat menggunakan keinginan dan
maksud generasi masa lampau itu untuk diadaptasi dan diterapkan bagi kehidupan
sekarang, sehingga antar kedua generasi terdapat kesejajaran atau pararelisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar