Indonesian territory is located in the tropical climate with two seasons, dry and rainy with characteristic changes in weather, temperature and wind direction are quite extreme. Such climatic conditions coupled with the surface topography and rock are relatively diverse, both physically and chemically, producing fertile soil conditions. Instead, it may cause some bad consequences for humans such as hydro-meteorological disasters such as forest fires and drought (El-Nino Moderate). The mitigation strategies and drought disaster reduction efforts, among others, the government regulation on setting up a delivery system of local climate data to a data processing center, the preparation PERDA to set priorities by taking into account historical water use rights and the principles of justice, the establishment of working groups and post drought at the central level and regions, providing a special budget for the development / improvement of the climate observation network in areas prone to drought, development / improvement of the climate observation network in areas prone to drought, giving reward and punishment system for people who do conservation and rehabilitation of water resources and forest / land.
Keywords: Disaster, El - Nino Moderate , Community Government and Preparedness
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Dari data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan dengan fenomena ENSO (ElNino Southern Oscilation). Pengaruh ElNino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan. Pengaruh ElNino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola : akhir musim kemarau mundur dari normal, awal masuk musim hujan mundur dari normal, curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal, deret hari kering semakin panjang, khususnya di daerah Indonesia bagian Timur. Kekeringan akan berdampak pada kesehatan manusia, tanaman serta hewan. Kekeringan menyebabkan pepohonan akan mati dan tanah menjadi gundul yang pada musim hujan menjadi mudah tererosi dan banjir. Dampak dari bahaya kekeringan mengakibatkan bencana berupa hilangnya bahan pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani kehilangan mata pencaharian, banyak orang kelaparan dan mati, sehingga berdampak terjadinya urbanisasi.
1.2. Tujuan
Penelitian dengan pendekatan kualitatif yang dilakukan pemerintah dan masyarakat di daerah bencana ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang ketangguhan dalam menghadapi bencana kekeringan.
2. METODOLOGI
2.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dengan melakukan pengolahan data informasi bencana kekeringan, kebakaran hutan dan lahan di Aceh, Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim dan Kaltara. Waktu penelitian adalah bulan Juli-Agustus 2015.
2.2. Sampling dan Analisis Sample
Sampel penelitian diambil dari data informasi BNPB, BMKG dan LAPAN yang terus diperbaharui kemudian di lakukan analisa.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun factor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Definisi bencana menurut UU No. 24 tahun 2007). Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang di picu oleh suatu kejadian.
Pembangunan yang selama ini bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam (terutama dalam skala besar) menyebabkan hilangnya daya dukung sumber daya ini terhadap kehidupan mayarakat. Dari tahun ke tahun sumber daya hutan di Indonesia semakin berkurang, sementara itu pengusahaan sumber daya mineral juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang secara fisik sering menyebabkan peningkatan risiko bencana.
3.1. Gejala Terjadinya Kekeringan
Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan dibawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan Meteorologis merupakan indikasi pertama adanya bencana kekeringan. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan air tanah. Kekeringan Hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan.
Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air di dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi kering dan mengering.
Indonesia sudah memasuki fase El-Nino moderat hingga curah hujan makin berkurang di beberapa wilayah. Bahkan, beberapa daerah sudah mengalami kekeringan ekstrim sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. BNPB, menangani 10 wilayah karhutla. Mulai Aceh, Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim dan Kaltara. Riau, adalah daerah yang tahun lalu menjadi perhatian khusus Presiden karena kualitas udara kategori berbahaya.
Gambar 1. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambar 2. Kekeringan Sawah
3.2. Upaya Mengatasi Kekeringan
Upaya membantu warga mengatasi dampak kekeringan tidak hanya dilakukan aparatur di daerah. Di tingkat pusat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) juga berusaha membantu dengan menyediakan sumber air. Pada Rabu (5/8), Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan mengeluarkan surat instruksi No 5/Ins/VIII/2015.
Isinya tentang Penyediaan Sumber Air di Atas Tanah Negara, Tanah Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB). Dalam instruksinya, Menteri Agraria menugaskan kepada seluruh kepala kantor wilayah BPN dan kepala kantor pertanahan di seluruh Indonesia untuk mengidentifikasi dengan menginventarisasi tanah negara. Jika di dalam tanah hak guna usaha atau hak guna bangunan yang dikelola badan hukum memiliki sumber air, keberadaannya harus dimanfaatkan untuk mengatasi masalah kelangkaan air yang terjadi di masyarakat.
Di Jawa Barat, pemerintah provinsi berusaha mengatasi kekeringan dengan menyediakan pompa air, membangun sumur resapan, dan menanam pohon di wilayah terdampak kekeringan parah. Untuk pembangunan sumur resapan air, pihaknya melibatkan seluruh dinas dan instansi terkait, sedangkan penanaman pohon sebagai upaya mengatasi dampak kekeringan jangka panjang akan dilakukan bersama petani dan masyarakat. "Petani diminta menanam tanaman keras.
Pemkab menyiapkan dana sekitar Rp4 miliar. Ada empat pompa air yang digunakan untuk mengalirkan air. Kondisi berbeda harus dihadapi petani di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pemkab belum berencana memberikan bantuan untuk petani yang lahan pertaniannya mengalami gagal panen. "Kalaupun ada, kami prioritaskan bantuan berupa benih dan pupuk," ungkap Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Sukabumi Sudrajat.
3.3. Teknologi Modifikasi Cuaca atau Hujan Buatan
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), yaitu usaha campur tangan manusia dalam pengendalian sumberdaya air di atmosfer untuk menambah curah hujan atau mengurangi intensitas curah hujan pada daerah tertentu untuk meminimalkan bencana alam yang disebabkan oleh iklim dan cuaca dengan memanfaatkan parameter cuaca. TMC dilakukan dengan meniru proses alamiah yang terjadi di dalam awan; sejumlah partikel higroskopik yang dibawa dengan pesawat ditambahkan langsung ke dalam awan jenis Cumulus (awan hujan) agar proses pengumpulan tetes air di dalam awan lebih di efektifkan. Dengan berlangsungnya pembesaran tetes secara lebih efektif maka proses hujan menjadi lebih cepat dan menghasilkan curah hujan yang lebih banyak. Dalam hal ini, hujan yang terjadi diharapkan akan dapat mengisi embungembung, pembasahan tanah dan bahkan hujan tersebut akan memadamkan sejumlah hotspot yang ada dan menipiskan kabut asap sehingga meningkatkan visibility (jarak pandang) yang kerap mengganggu kesehatan dan aktivitas penerbangan.
Secara regulasi, peranan TMC untuk mitigasi bencana kebakaran lahan dan hutan telah tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, dimana Presiden RI memberikan instruksi kepada Menteri Riset dan Teknologi untuk melakukan koordinasi dalam pemberian bantuan penanganan kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan teknologi pembuatan hujan buatan.
Pelaksanaan operasi TMC di Provinsi Sumatera Selatan dimulai pada Tanggal 9 Juli 2015 dan akan dibuka oleh Gubernur Sumatera Selatan, Bapak Alex Nurdin. Operasi TMC ini akan dikendalikan dari Posko utama yang bertempat di Lanud Palembang. Untuk membantu pengamatan cuaca dan kondisi awan di wilayah target, telah ditempatkan personil di 2 lokasi Pos Pengamatan Meteorologi (Posmet), yaitu di Sekayu dan Kayu Agung. Hasil pengamatan cuaca dan potensi awan hujan akan dilaporkan setiap saat oleh petugas dari Posmet kepada Tim Pelaksana di Posko, untuk dianalisis dan dijadikan sebagai masukan guna menentukan strategi pelaksanaan penyemaian awan setiap harinya. UPT Hujan Buatan juga bekerjasama dengan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) untuk memanfaatkan data radar cuaca Stasiun Meteorologi Palembang. Operasi ini akan didukung oleh 1 unit pesawat Casa 212200 PKPCT milik PT. Pelita Air Service. Bahan semai yang digunakan dalam pelaksanaan TMC ini adalah garam (NaCl) berbentuk powder dengan ukuran butir yang sangat halus (orde mikron).
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Adapun strategi mitigasi dan upaya pengurangan bencana kekeringan antara lain penyusunan peraturan pemerintah tentang pengaturan sistem pengiriman data iklim dari daerah ke pusat pengolahan data, penyusunan PERDA untuk menetapkan skala prioritas penggunaan air dengan memperhatikan historical right dan azas keadilan, pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat pusat dan daerah, penyediaan anggaran khusus untuk pengembangan/perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-daerah rawan kekeringan, pengembangan/perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-daerah rawan kekeringan, memberikan sistem reward dan punishment bagi masyarakat yang melakukan upaya konservasi dan rehabilitasi sumber daya air dan hutan/lahan.
4.2. Saran
Model resiliensi menyatakan bahwa ketangguhan (resiliensi) merupakan suatu proses. Hal ini berarti bahwa antarlembaga di Jakarta dan daerah, swasta dan masyarakat dapat meningkatkan kerjasamanya dalam penyediaan air bersih, pembuatan hujan buatan, pembahasan rencana pendirian Posko El-Nino Crisis Center atau Coordinating Center.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Didik Prajogo dan Ir. Suko Walujo untuk arahan dan bimbingan sehingga karya tulis ini dapat ditulis. Terima kasih juga kepada Bapak, Ibu dan Istriku yang telah memberikan komentar yang berharga.
6. DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
https://m.facebook.com/notes/administrasiniagapolsri/mengenalbencanadancaramenghadapinya/10151567014000550/
http://id.news.qa1p.global.media.yahoo.com/menteri-lingkungan-asean-bahas-kebakaran-211441297.html
http://wxmod.bppt.go.id/index.php/34berita/beritainternal/213upthujanbuatanlakukanteknologimodifikasicuacadisumateraselatangunasiagadaruratk
http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/14136/Menteri-ATR-Bantu-Atasi-Kekeringan/2015/08/07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar